UAS SOSIOLOGI HUKUM: PERUBAHAN HUKUM DI INDONESIA

 PERUBAHAN HUKUM DI INDONESIA YANG DAPAT MENYEBABKAN PERUBAHAN SISTEM PADA MASYARAKAT

"UU ITE"

Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Dosen Pengampu: Aris Martiana, S.Pd., M.Si.


Disusun Oleh:

Ardina Muthaharatul Fitriani

NIM. 19413244001

Pendidikan Sosiologi 2019 A

(https://www.metrokaltara.com/keadilan-hukum/)

PROSES TERJADINYA HUKUM


(https://cakrapuspalawoffice.id/2016/12/31/penegakan-hukum-indonesia/)

Pada awalnya, hukum disebut sebagai folkways (kebiasaan). Kebiasaan merupakan perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang disebut norma. Dapat dimisalkan seperti untuk tidak makan sambil berdiri. Dalam perkembangannya, terdapat nilai-nilai yang perlu dipertahankan secara lebih juat, untuk itu kemudian ditetapkan mores (adat istiadat). Misalnya adanya larangan untuk melakukan tindakan pemerkosaan. Dalam masyarakat modern, nilai-nilai dipertahankan dengan adanya hukum. Kebiasaan tidak memiliki kekuatan yang mengikat yang mengharuskan atau melarang seseorang untuk berperilaku. Adat istiadat memiliki kekuatan yang mengikat yang mengharuskan seseorang berperilaku tertentu, jika tidak atau melanggar, maka akan dikenakan “sanksi”.

Hukum sendiri merupakan tatanan serta satu kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Kemudian dalam dunia hukum dikenal dengan adanya sistem hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

PERUBAHAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA


(https://www.indojayanews.com/hukum/pemerintah-aceh-sambut-baik-peresmian-desa-sadar-hukum-di-aceh-tamiang/)

Nilai-nilai atas sesuatu memiliki sifat yang relatif, saat ini disukai dan di kemudian hari tidak disukai oleh anggota masyarakat, maka hukum pun dapat tidak bermakna lagi dan perlu diganti dengan yang baru. Hal ini dikarenakan anggota masyarakat yang bersifat dinamis, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada, seperti pengalaman hidup, pendidikan yang ditempuh, pengalaman agama, dan faktor lainnya. Kesepakatan diambil oleh sebagian besar anggota masyarakat, berkaitan dengan mereka yang tidak menyetujui adanya kesepakatan tersebut harus mengobjektifkan diri pada kesepakatan yang telah dibentuk tersebut, artinya mereka harus mematuhi kesepakatan atau hukum yang telah disepakati tersebut jika masih ingin menjadi anggota masyarakat tersebut. Siapapun yang melanggar, baik yang tidak setuju maupun yang setuju pada kesepakatan tersebut, akan dikenakan sanksi.

Pada dasarnya jika dalam suatu masyarakat tidak ada sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang dihargai, maka tidak akan ada hukum. Pada awal kehidupan manusia di zaman batu, manusia dapat hidup dari lingkungan hidupnya. Alam telah menyediakan kebutuhan hidup bagi manusia. Misalnya seperti buah untuk dimakan, siapa yang ingin makan hanya tinggal pergi ke hutan dan mengambilnya untuk dimakan.

HUBUNGAN PERUBAHAN HUKUM DAN KEADAAN MASYARAKAT

(https://benderranews.com/2017/03/15/warning-politisi-golkar-imbau-kader-taat-hukum-dalam-kasus-e-ktp/)

Di dalam sistem hukum tentu terdapat beberapa fungsi hukum yang berkaitan dengan adanya perubahan hukum dengan keadaan masyarakat. Hukum memiliki fungsi sebagai Sarana Pengendalian Sosial, Sarana Rekayasa Sosial, dan Sarana Pengintegrasian.

  • 1.      Hukum sebagai sarana pengendalian sosial

Dalam hal ini hukum adalah suatu sarana pemaksa yagn melindungi warga masyarakat dari adanya ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta benda. Hukum sebagai sarana kontrol sosial berguna untuk mempertahankan ketertiban yang telah ada.

  • 2.      Hukum sebagai sarana rekayasa sosial

Hukum dilihat sebagai suatu alat atau sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik negara, tujuan-tujuan praktis (sosial engineering by law). Dalam rekayasa sosial yang menjadi pokok persoalan adalah bagaimana kita menggerakkan tingkah laku anggota masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui hukum.

  • 3.      Hukum sebagai sarana pengintegrasian

Hukum dapat berfungsi untuk mengintegrasikan anggota-anggota masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang. Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, yang meliputi berbagai suku bangsa di Indonesia, yang masing-masing tentu memiliki pranata sosial yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut dapat terintegrasi antara lain karena masyarakat Indonesia menerima UUD 1945 sebagai suatu aturan untuk hidup berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, sebenarnya hukum dapat pula dikatakan sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat. Dalam hal ini, fungsi manifes dari hukum adalah menciptakan masyarakat yang lebih maju.

Dengan adanya 3 fungsi hukum yang telah dijelaskan di atas, tentu saja memiliki pengaruh adanya perubahan hukum, karena pada dasarnya hukum di Indonesia dapat berubah dengan melihat keadaan masyarakat saat itu juga.

CONTOH PERUBAHAN HUKUM DI INDONESIA

(https://www.theindonesianinstitute.com/revisi-uu-ite-dan-kebebasan-berekspresi/)

Contoh kasus perubahan hukum di Indonesia salah satunya terdapat pada adanya tambahan peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945, yaitu UU ITE.

UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur mengenai informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia, maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

  • 1) Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia
  • 2) Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  • 3) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik
  • 4) Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan pada bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab
  • 5) Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi

Secara umum, materi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilanggar. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional. Artinya, untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.

Beberapa aturan yang berlaku, antara lain:

- Pengakuan informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);

- Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);

- Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE);

- Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);

- Perbuatan yang dilarang atau cybercrimes. Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:

a. Konten illegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);

b. Akses illegal (Pasal 30);

c. Intersepsi illegal (Pasal 31);

d. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);

e. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);

f. Penyalahgunaan alat dan perangkat (missue of device, Pasal 34 UU ITE);

- Perbuatan yang dilarang atau cybercrimes. Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:

a. Konten illegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);

b. Akses illegal (Pasal 30);

c. Intersepsi illegal (Pasal 31);

d. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);

e. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);

f. Penyalahgunaan alat dan perangkat (missue of device, Pasal 34 UU ITE);

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yaitu Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Univesitas Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-undang Transakasi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.

Peraturan pelaksanaan UU ITE sendiri terdiri dari Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah, meliputi:

1.      Lembaga Sertfikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);

2.      Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);

3.      Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);

4.      Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);

5.      Penyelenggara Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);

6.      Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);

7.      Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);

8.      Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);

9.      Peran Pemerintah dalam Pemanfaatan TIK (Pasal 40);

Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik sendiri dijelaskan bahwa pada poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE). Peraturan Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke Kemkumham pada awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan Menkumham menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan naskah akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan non-pelayanan publik, sanksi administrative, tanggung jawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Ronny, 2013).

TEORI SOSIOLOGI HUKUM

(https://www.soclaw.lu.se/en/sociology-law-department/what-sociology-law)

Adanya perubahan hukum seperti contoh di atas tentu saja berkaitan dengan adanya teori sosiologi hukum, yakni teori Fungsionalisme Struktural.

Teori Fungsionalisme Struktural menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan semua perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini, masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dalam perspektif fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang sedikit teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian seperti halnya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras, bahkan kemiskinan “diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan dan kalaupun terjadi suatu konflik maka penganut teori ini memusatkan perhatian kepada masalah bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut agar masyarakat kembali menuju suatu keseimbangan.

Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan kea rah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Perubahan sosial menganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. Nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional bila perubahan sosial tersebut menganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan fungsional, bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, R. (2012). Sosiologi hukum: kajian hukum secara sosiologis. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sujamawardi, L. H. (2018). Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi9(2).

Umanailo, M. C. B. (2019). TALCOT PARSON AND ROBERT K MERTON.

https://blog.ub.ac.id/nauzul10/dasar-ti/asal-usul-uu-ite-undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik/ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Risiko Petani Akibat Irigasi Terhambat karena Renovasi Sungai

Resensi Buku "Mengendalikan Stres"